Pemahaman Kontekstual Dalam Pemikiran Islam

Pemahaman Kontekstual Dalam Pemikiran Islam

I. PENDAHULUAN

Berbagai persoalan empirik yang melingkupi masyarakat modern; kemiskinan, kebodohan, hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, perburuhan, ketidakadilan, penindasan, kolusi, korupsi dan berbagai persoalan lainnya, tampaknya tidak mampu untuk dijawab dengan teologi klasik atau pemikiran-pemikiran modern yang memiliki alur pikir yang sama dengannya. Karena, dalam pemikiran itu masih terikat dengan rumusan teologi abad tengah seperti persoalan free will dan predestination, sifat Tuhan, Qur’an itu qadim atau qudus, ru’yah, perbuatan Tuhan terkenal hukum kausal atau tidak. Dengan kata lain, corak pemikiran Islam atau teologi Islam masih diwarnai dengan pemikiran transendental-spekulatif dan kurang berminat terhadap persoalan-persoalan realitas empirik dalam kehidupan masyarakat yang serba dinamis. O leh karena itu, Fazlur Rahman memandang perlunya rekonstruksi sistematis dalam bidang teologi, filsafat dan ilmu-ilmu sosial lainnya dalam pemikiran Islam.[1]


II. STABILITAS POLITIK

Pemikiran teologi Islam klasik yang lekat dengan peradaban Islam membentuk format ortodoksi yang berakibat pada pemikiran bidang hukum, pendidikan, etika, sosial budaya dan filsafat masih terikat dengan bentuk rumusan pemikiran abad tengah yang belum mengenal perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan modern, baik yang berhubungan dengan ilmu maupun sosial kemasyarakatan. Pemikiran teologi Islam klasik itu diwarnai oleh pola pemikiran Yunani,[2] termasuk juga klasifikasi moral al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din tidak meninggalkan pola pemikiran Yunani.[3] Yoseph van Ess menguatkan sinyalemen itu, bahwa pemikiran teologi Islam klasik sangat diwarnai oleh format dan pola pemikiran Yunani.[4]

Namun, di balik itu, mengapa corak pemik iran teologi Islam klasik mampu bertahan sedemikian kokoh, hampir-hampir tidak mengalami perubahan bahasa maupun bentuk pembahasan meskipun telah melewati pertumbuhan ilmu pengetahuan empirik baik kealaman maupun ilmu-ilmu sosial. Beda hal, di Eropa warisan pemikiran Yunani baik budaya, ilmu, filsafat dan agama telah mengalami perubahan yang fundamental sesuai dengan perkembangan zaman.[5] Dalam hal ini, menurut M. Arkoun, bahwa teologi Islam ortodok selalu bernasib baik, corak pemikirannya selalu dimanfaatkan oleh para penguasa sejak abad 12 untuk menjaga stabilitas negara.[6] Dengan dalih untuk menjaga stabilitas negara maupun untuk mempertahankan kesatuan pandang ideologi tertentu, yaitu Asy’ariyyah, jauh lebih diutamakan daripada yang bersifat inovatif-reformatif-transformatif. Tujuan untuk menjaga stabilitas politik oleh para penguasa sangat berjasa dalam membentuk ortodoksi pemikiran teologi Islam[7] sampai saat ini.


III. PRODUK ZAMAN

Menyatunya t eologi Islam dengan stabilitas politik sering kali kurang tanggap dalam memandangnya, yang sebenarnya itu hanyalah produk zaman. Karena hanya didorong oleh situasi, kondisi dan tantangan historis tertentu,[8] dan hal itu berkaitan dengan kepentingan tertentu yang berlaku pada saat berlindung di bawah nas, al-Qur’an dan hadits Nabi yang ditafsirkan menurut kehendak dan yang sesuai dengan keyakinannya. Secara sosiologis penguasa tidak berani untuk tidak memperhatikan aspirasi masyarakat yang berlindung dibawah nas, dan secara politis para penguasa berkepentingan untuk mengamankan aspirasi masyarakatnya itu. Hanya saja proses saling ketergantungan itu, antara teologi dan politik sering melupakan aspek fundamental dari aspek historis pemikiran teologi yang dilingkupi oleh situasi dan historis tertentu. Jika menyadarinya, maka rumusan pemikiran teologi tertentu hanyalah cocok dan sesuai dengan historis yang lain. Oleh karena itu, rumusan teologi yang diwarnai dengan pemikiran Yunani ya ng spekulatif sudah berbeda dengan rumusan teologi yang berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang bersifat empiris dan praktis.[9]

Dengan memperhatikan hal tersebut, maka akan dapat dihindari percampuran antara apa yang disebut normatif-wahyu dengan produk historis-produk pemikiran teologis dalam sejarah tertentu. Sehingga dapat dibedakan mana ajaran wahyu yang bersifat esensial, substansial, fundamental dan universal dengan tuntutan historis kemanusiaan yang bersifat lokal, regional dan partikular.[10] Al-Qur’an sendiri sebenarnya berdialog langsung dengan realitas masyarakat dan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat secara empiris yang senantiasa berkembang. Seperti kasus larangan minum-minuman keras, al-Qur’an melarang secara bertahap.[11] Nabi Ibrahim ketika mencari Tuhan juga menggunakan metode empiris.[12] Untuk itu, dapat dimengerti juga dunia empiris yang harus tetap sebagai masalah inti, demikian ungkap Blumer.[13] Sedang Wach menyata kan merupakan jasa tertentu untuk mengutamakan pendekatan empiris dan pengalaman.[14]


IV. KONTEKSTUAL

Untuk tidak mengambil alih pola pemikiran Yunani yang spekulatif, diperlukan pemahaman al-Qur’an secara kontekstual dengan pendekatan induktif daripada pendekatan tekstual. Karena, al-Qur’an sebagai hudan[15] dapat memperbaiki, mengubah,[16] terhadap tata cara yang tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Upaya demikian ini memang diakui tidak semudah membalik telapak tangan. Lebih-lebih, telah terjadi sakralisasi dan suasana taqlidiyah yang telah melembaga dalam pemikiran umat Islam sendiri. Ya, boleh menggunakan pendekatan tekstualis, tetapi pendekatan kontekstual harus lebih dikedepankan untuk menghadapi perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian cepat. Aspek pemikiran teologi Islam yang historis tetap bersifat relatif, sementara dan partikular, sehingga dapat menerima perubahan.

Secara epistemologis, realitas masyarakat adalah termasuk wilayah kajian empiris-historis, dan ilmu-ilmu sosial empirik yang mencoba membahas realitas sosial empirik mulai berkembang setelah abad 19. Pemikiran Islam klasik abad tengah belum mampu membedah permasalahan realitas sosial empirik, lantaran masih diwarnai oleh pemikiran hellenisme-spekulatif. Ibn Maskawaih (932-1030) dan Ibn Khaldun (1332-1406) merupakan kekecualian, namun mereka tidak berhasil mengubah pola pemikiran yang didominasi oleh fiqh, hadits, dan ilmu kalam yang dianggap sebagai ilmu-ilmu agama yang harus diikuti secara taqlidiyah dan telah diberi corak ortodoksi,[17] dan terdapat pemisahan terhadap ilmu-ilmu selain itu. Implikasi daripadanya adalah sulit untuk memisahkan mana aspek normatif yang harus diterima begitu saja, dan mana aspek historis yang tidak lain adalah rekayasa tuntutan sejarah kemanusiaan yang bersifat relatif.[18] Untuk mengembalikan keseimbangan antar pemikiran Islam klasik yang lebih bermuatan moralitas-normatif dan tuntutan ilmu pengeta huan kontemporer yang bercorak empiris diperlukan kritik epistemologis[19] yang sangat mendasar, sehingga dapat mengetahui mana wilayah normatif dan mana wilayah yang historis. Pemahaman wahyu, harus diaktualisasikan dalam ruang dan waktu bagi manusia yang hanya akan berakhir pada hari kiamat. Demikian ungkap al-Faruqi.[20]

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Pemahaman Kontekstual Dalam Pemikiran Islam oleh makalah-ibnu : , anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com
Daftar Pustaka dan Footnote
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.

Fazlur Rah man, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984.

Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective an Method, Englewood Cliffs, New Jersey: Prantice Hall, Inc., 1969.

Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought, 1982.

Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958.

Joseph van Ess, The Logical Structural of Islamic Theology, “An Antologi of Islamic Studies”, Kanada: Mc Gill Indonesia IAIN Development Project, 1992.

M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II.

Muhammad Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, Albania: State University of New York Press, 1975.

Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘ Arab al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1986.


===================================
[1] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1984, hlm. 151-162.

[2] Muhammad Arkoun, Tarikhiyyah al-Fikr al-‘Arab al-Islami, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1986, hlm. 87-89.

[3] Muhammad Ahmed Sherif, Ghazali’s Theory of Virtue, Albania: State University of New York Press, 1975, hlm. 24 dan 73.

[4] Joseph van Ess, The Logical Structural of Islamic Theology, “An Antologi of Islamic Studies”, Kanada: Mc Gill Indonesia IAIN Development Project, 1992, hlm. 33, 47 dan 50.

[5] M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Post Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, cet. II, hlm. 49.

[6] Muhammad Arkoun, op.cit., hlm. 296.

[7] M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 50.

[8] Muhammad Arkoun, op.cit., hlm. 97.

[9] M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 51.

[10] Ibid.

[11] QS. 2: 219, dan 5: 92-93.

[12] QS. 6: 74-81.

[13] Herbert Blumer, Symbolic Interactionism: Perspective an Method, Englewood Cliffs, New Jersey: Prantice Hall, Inc., 1969, hlm. 22.

[14] Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Joseph M. Kitagawa, ed., New York and London: Columbia University Press, 1958, hlm. 29.

[15] QS. 2: 2.

[16] QS. 5: 104, dan 43: 21-25.

[17] Muhammad Arkoun, op.cit., hlm. 85.

[18] M. Amin Abdullah, op.cit., hlm. 55.

[19] Ibid., hlm. 59.

[20] Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implication for Thought and Life, Kuala Lumpur: The International Institute of Islamic Thought, 1982, hlm. 178.
Aneka Ragam Makalah ----/