Hukum Islam Dan Undang-Undang Perbankan Indonesia

Hukum Islam Dan Undang-Undang Perbankan Indonesia


Makalah Hukum Islam Dan Undang-Undang Perbankan  Indonesia

Keinginan Umat Islam di Indonesia untuk menghindari riba dan melaksanakan transaksi perbankan sesuai syariah terasa mendapat tempat dan dukungan dari sisi perundang-undangan. Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa pada tahun 1998 telah diundangkannya undang-undang yang diperlukan sebagai landasan hukum beroperasinya perbankan syariah, yaitu Undang-undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Tentang Perbankan (Selanjutnya disebut UU. No. 10 Tahun 1998)  

Berbagai ketentuan yang bersifat peraturan pelaksanaan u ntuk mendukung operasional Bank Syariah, terutama Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Selanjutnya disebut PBI No. 6/24/PBI/2004), telah menguraikan secara ringkas tentang kegiatan usaha yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Didalam Peraturan ini termasuk pula suatu yang spesifik bagi Perbankan Syariah, yaitu terdapatnya Dewan Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan operasional Bank Syariah

Usaha yang keras dari anak-anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) atau memeperjuangkan Ius Constituandum menjadi Ius Constitutum, yang salah satunya adalah keinginan mengaplikasikan nilai-nilai ekonomi yang Islami melalui legislasi kedalam sistem hukum nasional telah memberi harapan yang menggembirakan. Dengan demikian hukum Islam telah menjadi bahan baku bagi hukum nasional, sejalan dengan yang dikemuk akan oleh Muhammad Daud Ali dan Qadri Azizy. [1]

Melalui makalah dengan judul “HUKUM ISLAM PADA UNDANG-UNDANG PERBANKAN INDONESIA” ini akan diuraikan sejarah berdirinya Bank Syariah di Indonesia, Landasan hukum operasional Bank Syariah, serta Unsur-unsur hukum Islam yang dikandung di dalam Hukum Perbankan Indonesia, sebagai wujud dari positifisasi hukum Islam kedalam hukum nasional.


II. SEJARAH RINGKAS BERDIRINYA BANK SYARIAH DI INDONESIA

Pada awal tahun 1980, wacana pendirian Bank Syariah sebagai pilar ekonomi mulai bergulir. Para tokoh yang aktif dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amin Azis dan lain-lain. Uji coba sist em syariah pada sekala kecil dilakukan dengan pendirian BMT (Bait al-mal wa at-tamwil), yaitu BMT Salman di ITB Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.[2]

Langkah yang lebih strategis untuk mendirikan Bank Syariah diprakarsai oleh MUI (Majlis Ulama Indonesia melalui Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor Jawa Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil Lokakarya itu selanjutnya dibahas pada Musyawarah Nasional IV MUI yang diadakan di Hotel Syahid Jakarta tanggal 22-25 Agsutus 1990. Munas ini mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia, yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan berbagai pihak terkait.

Tindakan MUI semakin nyata, dengan membentuk suatu Tim Steering Commite yang diketuai oleh Dr. Ir Amin Aziz, yang bertugas mempersiapkan seg ala sesuatu yang berhubungan dengan berdirinya Bank Syariah di Indonesia (Bank Muamalat Indonesia). Untuk kelancaran tugas Tim ini, dibentuk pula Tim hukum ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang diketuai Drs. Karnaen Perwataatmadja, MPA. Dari sisi persiapan sumber daya manusia,diselenggarakan training calon Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI) di LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) pada tanggal 29 Maret 1991 yang dibuka oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. [3]

Untuk menghimpun dana, Tim MUI melobi pengusaha-pengusaha Muslim untuk menjadi pemegang saham pendiri. Dalam waktu 1 tahun dapatlah terpenuhi berbagai persyaratan pendirian, sehingga pada tanggal 1 November 1991 dapat dilaksanakan penandatanganan Akte Pendirian BMI di Sahid Jaya Hotel dengan akte notaries Yudo Paripurno, SH dengan izin menteri kehakiman No. C. 2.2413.HT.01.01. Komitmen pembelian saham Rp 106.1 26.382.000,- sebagai modal awal pendirian BMI diperoleh pada acara silaturrahmi Presiden di Istana Bogor tanggal 3 November 1991. [4]

Izin Prinsip Pendirian BMI diperoleh dari Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991 dan disusul dengan izin usaha berdasarkan keputusan menteri keuangan RI No. 430/KMK.013/1992, tanggal 24 April 1992. Dan akhirnya pada tanggal 1 Mei 1992, BMI secara resmi memulai operasionalnya. Dengan mulai beroperasinya Bank Syariah pertama ini, maka dimulailah genderang perjuangan mewujudkan Das Sollen (yang seharusnya) menjadi Das Sein (Kenyataan) dalam muamalah ekonomi Islam di Indonesia.


III. LANDASAN HUKUM/OPERASIONAL, PERAN DEWAN SYARIAH DAN UNSUR-UNSUR SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN

A. Landasan Hukum / Operasional Bank Syariah

Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan adalah sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak tanggal 1 Mei 1992.

Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 1992. [5] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil. Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:

Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.

Friedman, membedakan antara hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law) dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka kodifikasi hukum secara formal (positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah didalam tata hukum nasional adalah suatu keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata tujuh bulan setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992 tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada makalah ini selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa:

Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang melakukan kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.

Lebih rinci lagi pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :

(1) Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :

a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;

b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;

c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil.


(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha jual beli.

Kedudukan Bank Syariah semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas kedudukan Perbankan Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya Bank Umum untuk beroperasi secara dual system, yakni dapat beroperasi secara konvensional sekaligus beroperasi sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati pada pada Pasal 1 ayat (3) yang mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:

Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

Berbeda dengan ketentuan pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak dibenarkan beroperasi secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalulintas pembayaran.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank I ndonesia No 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan tentang Pendirian Bank, Perizinan, Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan Usaha.

Sejalan dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada Bank Umum untuk melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan kegiatan operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

Pembenaran terhadap Bank Umum untuk beroperasi s ecara dual system ini telah disambut baik disamping juga disambut dengan dengan kritik dari sebahagian cendekiawan muslim. Kritikan yang disampaikan adalah terjadinya percampuran antara yang halal dengan yang haram didalam satu institusi Bank. Sebagaimana kaedah Fiqh yang meneyebutkan apabila bercampur yang halal dengan yang haram, maka akan menjadi haram.

اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام

Namun demikian dari sisi politk hukum, terutama untuk mendorong percepatan pertambahan jaringan kantor bank syariah, maka ketentuan ini sangat strategis, mengingat untuk mendirikan bank baru disyaratkan adanya modal sebesar Rp 3 Triliyun.

Untuk beroperasi secara dual system ini Peraturan Bank Indonesia No. 4/1/PBI /2002 memberikan batasan-batasan sbb:

Pasal 11

(1) Bank yang akan melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk Unit Usaha Syariah di kantor pusat Bank.

(2) Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan unit kerja di kantor pusat Bank yang berfungsi sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah, yang mempunyai tugas:

a. mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;

b. menempatkan dan mengelola dana yang bersumber dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah;< /div>

c. menerima dan menatausahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah; dan

d. melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.

Dari beberapa ketentuan diatas dapat dipahami bahwa Bank yang menerapkan dual system berkewajiban mengelola dan menatausahakan serta mengawasi unit syariahnya dengan sebaik-baiknya sehingga meskipun dalam instansi bank yang sama, pengelolaan dan administrasinya terpisah dengan semestinya, antara yang konvensional dengan yang syariah.

B. Unsur-Unsur Syariah Pada UU No. 10 tahun 1998

Unsur-Unsur Syariah pada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah yang bersumber dari Fiqh Muamalat, seperti; Bay’ al-Murabahah, Mudharabah, Musyarakah, Ijarah dan Ijarah wa Iqtina’. Dengan demikian hukum Islam telah dipergunakan sebagai bahan dalam pembentukan hukum nasional. Sejalan dengan Teori Eksistensi yang dikemukan oleh Ichtijanto bahwa hukum Islam ada dalam hukum nasional Indonesia. Hukum Islam merupakan bahan utama unsur utama hukum Nasional.[7]

Unsur-unsur syariah didalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini penulis kelompokkan sebagai pengakuan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Penegasan Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam, dengan beberap bentuknya.

1. Pengakuan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
Didalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 ini telah diakui bahwa bank dapat beroperasi dengan dengan Prinsip Syariah, disamping sistem konvensional yang sudah ada, sesuai bunyi pasal 1 ayat 3 dan 4;

Ayat 3

Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Ayat 4

Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannnya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

2. Penegasan Prinsip Syariah sebagai Aturan Perjanjian Sesuai Hukum Islam

Pasal 1 ayat 13 menguraikan Prinsip Syariah serta bentuk-bentuk kegiatan sesuai syariah sbb:

Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak lain (ijarah wa iq tina’)

Sesuai kedudukannya sebagai Undang-undang maka uraian yang ada didalamnya bersifat umum, ringkas dan suple. Sejalan dengan Stuffen theori dari Kelsen, bahwa sistem hukum pada hakikatnya merupakan sistem hirarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga tertinggi. Hukum yang lebih rendah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan hukum yang diatasnya. Semakin tinggi kedudukan hukum dalam peringkatnya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya. Sebaliknya semakin rendah peringkatnya semakin nyata dan operasional sifat norma yang dikandungnya.

Penjabaran atas undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dituangkan dalam peraturan pelaksanaannya, yaitu Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, yang kemudian tel ah digantikan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Rincian kegiatan usaha Bank Umum Syariah diatur pada pasal 36 dan 37 seperti berikut ini.

Pasal 36

Bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi:

a. melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara lain:

1. giro berdasarkan prinsip wadi’ah;

2. tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan atau mudharabah; atau

3. deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;

b. melakukan penyaluran dana melalui :

1. prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain:

a) murabahah; b) istishna; c) salam;

2. prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:

a) mudharabah; b) musyarakah;

3. prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:

a) ijarah; b) ijarah muntahiya bittamlik;

4. prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh;

c. melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain:

1. wakalah; 2. hawalah; 3. kafalah; 4. rahn.

d. membeli, menjual dan/atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan prinsip syariah;

e. membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/ata u Bank Indonesia;

f. menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;

g. memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan prinsip syariah;

h. menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga berdasarkan prinsip syariah;

i. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah;

j. melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip waka lah;

k. memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan prinsip syariah;

l. memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;

m. melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan prinsip syariah;

n. melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;

o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang disetujui oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional.

Pasal 37

(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Bank dapat pula :

a. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan berdasarkan prinsip syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip syariah untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan ketentuan sebagaimana ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

(2) Bank syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana sosial antara lain dalam bentuk zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai syariah atas nama Bank atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.

Meskipun Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 lebih merinci unsur-unsur syariah dalam operasional Perbankan, namun Peraturan ini tidaklah melakukan kodifikasi sebagaimana pada kitab-kitab fiqh. Uraian yang ada sangat umum bahkan tidak memberikan definisi yang memadai terhadap jenis-jenis produk perbankan apalagi mencantumkan rukun dan syarat sebagaimana layaknya dalam literat ur fiqh. Pertanyaan yang timbul adalah; Bagaimana standard prinsip syariah dapat dijalankan oleh perbankan syariah, jika pedoman dalam bentuk undang-undang tidak memberikan batasan yang memadai ?. Pertanyaan ini akan terjawab dengan menelusuri peran Dewan Syariah pada Perbankan Syariah sebagaimana diuraikan pada bahasan berikut ini.

C. Peran Dewan Syariah

Suatu hal yang spesifik bagi perbankan syariah adalah; adanya kedudukan Dewan Syariah. Dewan Syariah terbagi dua, pertama; Dewan Syariah yang bertugas di kantor pusat Bank dengan nama “Dewan Pengawas Syariah” (DPS). DPS menjadi bahagian yang independen dari organisasi suatu Bank Syariah dan berkedudukan di Kantor Pusat Bank. DPS berfungsi mengawasi kegiatan usaha Bank agar sesuai dengan syariah. Dalam pelaksanaan tugasnya mengawasi pelaksanaan operasional sesu ai syariah DPS tunduk kepada Fatwa-fatwa yang disusun Dewan Syariah Nasional.

Kedua; Dewan Syariah Nasional sebagai lembaga yang dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI), untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah.[8]

Dengan adanya fungsi Dewan Syariah Nasional ini, maka standardisasi prinsip syariah dapat diatur secara nasional melalui fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional.[9] Selanjutnya masing-masing DPS di kantor Banknya masing-masing akan mengawasi pelaksanaan sesuai pedoman yang disusun didalam fatwa. Disamping itu DPS akan menangani permasalah syariah yang timbul didalam internal Bank maupun hubungannya dengan nasabah Bank. Namun demikian DPS tidak berwenang mengeluarkan fatwa dan tidak dibenarkan merekomendasikan pemasaran produk maupun jasa yang belum difatw akan DSN.

Kedudukan DSN maupun DPS ini, diatur pada Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah yang merupakan pengganti dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tahun 1999.

Pada Pasal 1 ayat 9 dan 10 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 diatur sbb:

Pasal 1 ayat 9

Dewan Syariah Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Pasal 1 ayat 10

Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha Bank.

Pasal 27

(1) Tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah antara lain meliputi:

a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN;

b. menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang dikeluarkan Bank;

c. memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional Bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi Bank;

d. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN;

e. menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurangkurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada Direksi, Komisaris, Dewan Syariah Nasional dan Bank Indonesia.

Menurut hemat penulis adanya lembaga Dewan Syariah yang berperan mengawasi Perbankan Syariah dan menerbitkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan dalam kaitan dengan operasional Bank adalah sangat bijaksana. Dapat dibayangkan apabila berbagai ketentuan produk fiqh dituangkan dalam Undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya secara terperinci, maka perbankan menjadi sangat terikat denga n ketentuan yang ada dan sukar bergerak cepat mengikuti dinamika yang ada pada sektor keuangan. Dengan adanya DSN, maka berbagai hal yang timbul dapat segera dicarikan pemecahannya melalui rapat DSN yang tidak melibatkan protokoler sebagaimana yang terjadi pada lembaga legislative.


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah HUKUM ISLAM dan UNDANG-UNDANG PERBANKAN INDONESIA, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibr ahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com

References and Footnote


[1] Menurut Daud Ali, di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat Kontinental. Lihat Muhammad Da ud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukumj Islam di Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo, 1997), h. 187



Menurut Qadri Azizy ketiga sistem hukum diatas dalam pengertiannya yang dinamis akan menjadi bahan baku hukum nasional. Lihat A. Qadri Azizy, Ekletisisme Hukum Nasional: Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 111

[2] Lihat Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Kerjasama penerbitan BI dan Tazkia Institut, 1999), h. 237.

[3] Lihat Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BAMUI dan Takaful) di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997) h 73-74

[4] Lihat, Syafii Antonio, Bank Syariah, hlm 237-238

[5] Apabila di-urut ke periode terdahulu, Undang-undang Perbankan, pertama sekali di undangkan di Indonesia adalah Undang-undang nomor 14 tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok perbankan. Selanjutnya untuk mengikuti perkembangan perbankan nasional dan internasional, maka tanggal 25 Maret 1992 diberlakukan Undang-Undang baru dibidang Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Seiring memasuki era globalisasi dan dengan diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, maka pemerintah memandang perlu menyesuaikan kembali undang-undang dibidang perbankan. Maka pada tanggal 10 November 1998 diundangkanlah Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian sampai saat ini telah terjadi 3 kali perubahan Perundang-undangan dibidang Perbankan.



[6] Berbeda dengan Roman Law yang menghendaki Positivisasi hukum, maka Common Law didasarkan atas hukum yang berlaku di masyarakat, dalam hal ini Court yang mengambil peran sentral dalam penetapan hukum. Lihat W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, terj. Muhammad Arifin, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h 162- 165

[7] Teori Eksistensi dari Ichtijanto menerangkan bahwa: Hukum Islam ada didalam hukum nasional Indonesia. Bentuk Eksistensiitu ada 4, yaitu; 1) Ada, dalam arti sebagai bagian Integrral dari hukum nasional Indonesia, 2) Ada, dalam arti kemandiriannya dan diakui wibawanya, 3) Ada, dalam Hukum Nasional dalam sebagai norma hukum, berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional, 4) Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Lihat: Ichtijanto, SA, Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Ind- Hill Co, 1990), h 86-87

[8] Terdapat beberapa pedoman kerja bagi Dewan Syariah yaitu; Keputusan DSN No. 01 tahun 2000 tentang pedoman dasar dewan Majelis Ulama Indonesia, Keputusan DSN No. 02 Tentang Pedoman Rumah Tangga DSN, Keputusan No. 03 Tentang petunjuk pelaksanaan penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah pada Lembaga Keuangan Syariah

[9] Sampai dengan November tahun 2003, DSN telah menerbitkan sebanyak 40 fatwa menyangkut Perbankan, Pasar Uang maupun Asuransi. Lihat Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Kedua, 2003, diterbitkan atas kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI Bank Indonesia.
Aneka Ragam Makalah ----/