Makalah Ushul Fiqh
Editor: Ibrahim Lubis, MA
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai hamba Allah yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa yang tidak diridhoi Allah. Untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah kita harus mengetahui hukum Islam yang telah ada. Namun, hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan ilmu tentang fiqih, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fiqih yang terdapat dalam buku-buku klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya. Oleh karena itu, umat Islam perlu mengadakan penyegaran kembali terhadap warisan fiqih. Dalam konteks ini, ijtihad menjadi sebuah kemestian dan metode ijtihad mutlak harus dikuasai oleh mereka yang akan melakukannya. Metode ijtihad itulah yang dikenal dengan ushul fiqih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ushul Fiqh
Ushul Fiqh berasal dari bahasa Arab Ushul Al-Fiqh yang terdiri dari 2 kata, yaitu al-Ushul al-Fiqh.
a. Al-Ushul
Al-Ushul adalah jamak dari kata al-ashl, menurut bahasa berarti Ù
ا ÙبÙ٠عÙÙ٠غÙر Ù landasan tempat membangun sesuatu. Menurut istilah, seperti dikemukakan wahbah az-Zahuli, kata al-ashl mengandung beberapa pengertian.
1) Bermakna dalil, seperti dalam contoh
اÙا ص٠Ù٠٠ج٠ب اÙصÙÙ Ø© اÙÙتا ب ٠اÙسÙØ©
âDalil wajib sholat adalah al-qurâan dan sunnahâ
2) Bermakna kaidah umum satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupan. Seperti contoh :
بÙ٠اÙا سÙا Ù
عÙÙ Ø®Ù
سة خسة اصÙÙ
âIslam di bangun di atas lima kaidah umumâ.
3) Bermakna Al-Rajih (yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan). Contoh
اÙا ص٠Ù٠اÙÙÙا Ù
اÙØÙÙÙØ©
âPengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnyaâ.
4) Bermakna asalâ, tempat menganalogikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya, khamar merupakan asalâ (tempat mengkiaskan narkotika).
5) Bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah.
Pengertian kata Al-Ashlâu yang dimaksud bila dihubungkan dengan makna al-dalil. Dalam pengertian ini, maka kata ushul al-fiqh berarti dalil-dalil fiqih, seperti al-qurâan, sunnah Rasulullah, Ijmaâ, qiyas, dan lain-lain.[1]
b. Al-Fiqh
Kata kedua yang membentuk istilah ushul al-fiqh adalah kata al-fiqh. Kata al-fiqh menurut bahasa berarti pemahaman. Fiqh adalah ilmu tentang (himpunan) hukum-hukum syaraâ mengenai perbuatan manusia ditinjau dari apakah perbuatan itu diharuskan (wajib), sunah, atau haram untuk dikerjakan.
Menurut istilah, al-fiqh dalam pandangan az-Zuhaili, terdapat beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Abu Hanifah mendefinisikan sebagai berikut :[2]
Ù
عر ÙØ© اÙÙÙس Ù
ا ÙÙا٠Ù
ا عÙÙÙا
âPengetahuan diri seseorang tentang apa yang menjadi hakikatnya, dan apa yang menjadi kewajibannya atau dengan kata lain, pengetahuan seseorang tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan.â
Menurut ulamaâ kalangan Syafiâiyah
اÙعÙÙ
با Ùا ØÙاÙ
اÙشر عÙØ© اÙعÙ
ÙÙØ© اÙÙ
Ùتسب Ù
٠اد ÙتÙا اÙتÙصÙÙÙØ©
âPengetahuan tentang hukum syaraâ yang berhubungan dengan amal perbuatan, yang digali dari satu persatu dalilnya.â
Fiqh adalah hukum Islam yang tingkat kekuatannya hanya sampai Zhan, karena di tarik dari dalil-dalil yang dzannya. Bahwa hukum fiqh itu adalah zhannya sejalan pula dengan kata âal-muktasabâ dalam definisi tersebut yang berarti âdiusahakanâ yang mengandung pengertian adanya campur tangan akal pikiran manusia dalam penarikannya dari al-qurâan dan sunnah Rasulullah.
Objek kajian ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf, ditinjau dari segi hukum syaraâ yang tetap baginya. Seorang faqih membahas tentang jual beli mukallaf, sewa-menyewa, pegadaian, perwalian, shalat, puasa, haji, pembunuhan, qazhaf, pencurian, ikrar dan wakaf yang dilakukan mukalaf, supaya mengerti tentang hukum syaraâ dalam segala perbuatan itu. Maka tujuan ilmu fiqih adalah menerapkan hukum-hukum syariat terhadap perbuatan dan ucapan manusia. Jadi, ilmu fiqih itu adalah tempat kembali seorang mufti dalam fatwanya dan tempat kembali seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syaraâ yang berkenaan dengan ucapan dan perbuatan yang muncul dari dirinya.[3]
B. Definisi Ushul al-Fiqh sebagai suatu disiplin ilmu
Ushul al-fiqh adalah ilmu tentang( pemahaman) kaidah kaidah dan pembahasan yang dapat menghantarkan kepada diperolehnya hukum-hukumsyaraâ mengenai perbutan manusia dari dalil-dalilnya yang rinci. Ushul fiqih secara istilah teknik hukum adalah:â ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskn hukum syaraâ dari dalilnya yang terinci âatau dalam arti sederhana adalah:â kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.â
Umpamanya dalam kitab-kitab fiqih ditemukan ungkapan, âmengerjakan sholat itu hukumnya wajib. âwajibnyanya melakukan sholat itu disebut â hukum syaraâ. Tidak pernah tersebut dalam Al-Qurâan maupun hadits bahwa sholat itu hukumnya wajib.yang tersebut dalam Al-Quran hanyalah perintah mengerjakan sholat yang berbunyi.
ا ÙÙÙ
٠اÙصÙا Ø©
Artinyaâkerjakanlah sholatâ
Ayat al-Quran yang mengandung perintah mengerjakan sholat itu disebutâdalil syaraâ.Untuk merumuskan kewajiban sholat yang disebut âhukum syaraâ dari firmanAllah:
ا ÙÙÙ
٠اÙصÙا Ø©
Yang disebut dalil syara itu ada aturanya dalam bentuk kaidah, umpamanya: âsetiap perintah itu menunjukkan wajibâ. Pengetahuan tentang kaidah kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara tersebut, itulah yang disebut â ilmu ushul fiqh â.[4]
C. Objek Kajian Ushul Fiqh
Dari definisi Ushul Fiqh menurut Abdullah bin Al-Baidlawi, dapat dipaparkan tiga masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fiqh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode istinbat dan tentang ijtihad. Berpegang pada pendapat Al-Ghazali, objek pembahasan ushul fiqh ada 4 bagian:
- Pembahasan tentang hukum syaraâ dan yang berhubungan dengannya, seperti hakim, mahkumfih, dan mahkum alaih.
- Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum.
- Pembahasan tentang cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber dalil itu.
- Pembahasan tentang ijtihad.
Meskipun yang menjadi objek bahasan ushul fiqh ada 4, namun wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa yang menjadi inti objek kajian ushul Fiqh adalah tentang dua hal yaitu dalil-dalil secara global dan tentang al-ahkam (hukum-hukum syaraâ) yang menjadi objek bahasan ushul fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi sebagaimana tetapnya suatu hukum dengan dalil.
D. Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Berdasarkan kepada beberapa definisi di atas, terutama definisi yang dikemukakan oleh al-Baidhawi dalam kitab Nihayah al-Sul, yang menjadi ruang lingkup kajian (maudhuâ). Ushul fiqh, secara global adalah sebagai berikut :[7]
1. Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
2. Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
3. Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
4. Syarat â" syarat orang yang berwenang melakukan istinbat ( mujtahid ) dengan berbagai permasalahannya.
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 : 8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu :[8]
1. Hukum-hukum syaraâ, karena hukum syaraâ adalah tsamarah (buah / hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh.
2. Dalil-dalil hukum syaraâ, seperti al-kitab, sunnah dan ijmaâ, karena semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
3. Sisi penunjukkan dalil-dalil ( wujuh dalalah al-adillah ), karena ini adalah thariq al-istitsmar ( jalan / proses pembuahan ). Penunjukkan dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq ( tersurat ), dalalah bil mafhum ( tersirat ), dalalah bil dharurat ( kemadharatan ), dan dalalah bil maâna al-maâqul ( makna rasional ).
4. Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat keduanya.
D. Tujuan dan Urgensi Ushul Fiqih
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa ushul fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, muamalah, uqubah (hukuman) maupun akhlak. Dengan kata lain, ushul fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai metode, sarana atau alat. (Syafeâi, 1999 : 24).[9] Tujuan ilmu ushul fiqih adalah menerapkan kaidah-kaidah nya dan teori-teorinya terhadap dalil-dalil yang rinci untuk menghasilkan hukum syaraâ yang ditunjukki dalil itu.
Jadi berdasarkan kaidah kaidahnya dan bahasan-bahasanya,maka nash-nash syaraâ dapat dipahami dan hukum yang menjadi dalalahnya dapat diketahui, serta sesuatu yang dapat menghilangkan kesamaran lafal, yang samar dapat diketahui. Bahkan tujuan utama dari ushul fiqih adalah untuk mencapai dan mewujudkan sesuatu yang dimaksud syaraâ. Ada ulama Yng berkata: âBarang siapa yang memelihara ushul, tentulah dia akan sampai kepada maksud. Dan barang siapa memelihara Qawaid, tentulah dia akan mencapai maksud.[10]
DAFTAR PUSTAKA
- Haroen, H. Nasrun Haroen. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.
- Munir Amin, Samsul dan Jumantoro Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Amzah.
- M.Zaeni, Effendi, H.Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media.
- Rohayana, Ade Dedi. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan : STAIN Press.
- Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqih. jakarta : Logos Wacana Ilmu.
___________________
[1]Satria Effendi & M.Zaeni,Ushul fiqih(Jakarta:prenada media,2005)hal.2
[2] Ibid,hal.3
[3] Totok Jumantoro dan samsul munir amin,kamus ilmu ushul fiqih,(Jakarta:Amzah,2005) hal.67
[4] Amir syarifudin,Ushul fiqih jilid 1(Jakarta:logos wacana ilmu,1997),h.35-36.
[5] Amir syarifudin,loc.cit.
[6] Amir syarifudin,loc.cit.
[7] Ade Dedi rohayana,ilmu Ushul fiqih(pekalongan:STAIN Press,20060hal.10
[8]Ibid,hal.11
[9] Ibid,hal.14
[10] Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, op.cit.,hlm 344-345